Bambang* [Semacam Cerbung]

Hai Bambang, masih ingat aku kan ? iya, aku Anto, Anto Agung Pratama, aku yakin namaku gampang diingat.

Setelah berkisah sedikit tentangmu pada tulisanku sebelumnya, tulisanku kali ini aku buat khusus untuk ucapan terima kasih yang belum sempat aku katakan padamu. 

Pertama, aku berterima kasih kepadamu karena telah sudi mengizinkanku untuk menjadikan dirimu sebagai bahan cerita, yaah meskipun kamu sedikit kesal tapi tetap tertawa ketika tahu namamu kusamarkan sebagai Bambang. Aku takut, jikalau identitasmu aku buka dan aku telanjangi dalam tulisanku, kamu akan marah padaku, marah karena ruang pribadimu ter-ekspose oleh para pembaca blog ku. Ah, tapi siapa juga yang sudi membaca tulisanku yang ga jelas ini Haha..

Sedikit demi sedikit, aku mulai paham, kamu yang selalu hadir dengan membawa keceriaan dan keramahan, ternyata adalah pribadi yang jauh lebih baik dari itu. Kamu selalu menutupi kebaikanmu itu dengan rapat rapat agar orang lain tak mengetahuinya lalu mencemarinya. Terima kasih karena telah membagi kebaikan hatimu itu denganku. Kamu selalu bilang bahwa akupun sejatinya orang baik, "Tuhan tidak menciptakan manusia jahat di muka bumi mas, setan dan nafsu dalam diri mereka lah yang membuat mereka tampak jahat.", kata katamu itu akan selalu aku ingatdalam perjuanganku menjadi orang baik Bambang.

Sejujurnya aku sama sekali tak menyangka kalo kamu adalah orang hebat. Orang hebat yang bisa membuat siapapun yang berada didekatmu merasakan kenyamanan. Kamu ibarat sebuah rumah, tempat keluh kesah berpulang lalu membuatnya hilang, tempat lelah yang bertumpuk bertemu hangatnya peluk. Ah iya, terima kasih telah menjadi penawar kenyamanan disaat aku telah lelah mencarinya.

Kamu adalah pribadi yang tangguh Bambang, tangguh menghadapi semua masalah yang pernah menimpamu, yang beberapa kali pernah kamu ceritakan kepadaku. Tapi, dibalik semua ketangguhanmu itu, aku menyadari satu hal, bahwa setangguh apapun kamu memikul semua beban, kamu tetaplah perempuan Bambang, perempuan yang ketika lelah menjadi penopang beban membutuhkan tempat bersandar dan berkeluh kesah guna melepas penat. Ah, semoga aku yang kamu pilih jadi sandaranmu, pundakku takkan menolakmu Bambang.

*****

Emm Bambang, akhir akhir ini ada perasaan tidak nyaman yang kian hari kian menggangguku, perasaan yang jadi ganjalan besar di dalah hatiku, perasaan yang sejujurnya saja ingin lekas ku buang atau ku kubur dalam dalam agar tak membuatku terlihat rapuh luar dalam dihadapanmu.

Beberapa waktu lalu, kamu bercerita dihadapanku, bercerita dengan mata berkaca-kaca, aku tahu, ada yang kau tahan. Sebabnya tak bisa dibilang sepele, kamu menerima gunjingan dari orang orang sekitarmu tentang kedekatanmu dengan lelaki yang kamu sebut teman itu. Aku sebenarnya bisa memakluminya Bambang, tapi tidak dengan lingkungan sekitarmu, mereka yang tahu bahwa kamu tengah dekat dengan aku lantas memojokkanmu agar menjauhi teman lelakimu itu dengan dalih agar tak terlalu dalam menyakitiku.

Reaksiku tentu saja mendukung orang orang yang memojokkanmu itu, tentu saja karena alasan mereka yang membelaku, tapi toh pendapatku hanya bisa kuutarakan sebatas dalam hatiku, karena aku harus selalu tampak tegar dihadapanmu meski rasa sakit menimpaku. Tak apa, kamu tak usah khawatir, aku sehat, dan selalu siap jadi tempatmu bercerita.

Tapi sialnya, tindakan tindakanku lantas merealisasikan perasaanku Bambang, beberapa hari pasca kamu jadi bahan gunjingan, suasana hatiku lantas ikut memanas, akupun ikut memojokkanmu dengan gerak badanku. Kita, yang tiap kali berjumpa sering melontarkan guyonan guyonan, hari itu mendadak berubah 180 derajat. Aku diam, dan kamupun sama. Sialan !! Maafkan aku Bambang, bukan maksudku untuk ikut ikutan membuatmu terpojok, Aaahh, perasaanku sedang tidak mau diajak berbohong, benar, aku cemburu. Aku cemburu karena kamu terlihat terlalu dan selalu dekat dengan lelaki itu, aku cemburu karena kita tidak pernah terlihat sedekat itu.. Aaakk..

*****

Setelah mendengar cerita dan pengakuanmu yang kau sampaikan dengan mata nanar, aku percaya padamu Bambang. Aku percaya, bahwa apa yang pernah kau ucapkan dulu, "Aku memilih kamu mas." benar adanya. Aah, ketika menulis cerita ini, seketika terbayang wajahmu Bambang. Wajah yang kamu hiasi dengan senyum tulus, wajah yang memberikan damai, wajah yang datang dengan membawa janji bahwa kamu sejatinya adalah pondasi kokoh yang siap menjadi sandaran beban seberat apapun.

*****

Emm, kamu masih ingat waktu itu Bambang ? waktu dimana aku mengutarakan perasaanku terhadapmu ? iya, sewaktu jadwal acara nonton bioskop kita gagal dan beralih mendaki gunung, iya, gunung yang tingginya ga seberapa tapi bikin ngos ngosan dan dengkul copot itu. Aah, kamu pasti ingat.

Berangkat dhuhur, lalu turun ketika ashar. Kamu yang aku tawari permen karet, lalu coklat dan air putih, dan semuanya kamu tolak. Kita berboncengan motor sewaktu perjalanan pulang, lalu waktu maghrib aku ajak kamu singgah sebentar di SPBU yang ternyata tempat wudhunya terbuka dan seketika kamu ngomel ngomel karena kerepotan untuk wudhu haha. Yaah, meskipun pada akhirnya kamu memilih mengalah dan wudhu di dalam kamar mandi, yang membuat aku cekikikan tak karuan menahan tawa karena membayangkan betapa repotnya seorang perempuan harus berwudhu di kamar mandi yang tentu saja rawan terkena najis.

Usai shalat maghrib, kita berhenti sejenak, ngobrol ngalor ngidul, ketawa tawa dan membuatku merasa itu adalah momen terbaik kita, momen kedekatan kita. Makin meriahlah tawamu ketika kamu mengingatkan janjimu untuk membawa foto masa kecilku.

Setelah aku tunjukkan foto ini, tawamu yang lirih itu tak berhenti berhenti. "Wah, ternyata kamu militan sama dot susu mas Hahaha" begitu katamu, aku lantas ikut tertawa.

Usia 7 bulan


Usia, Emm, entah hahaha
Bambang* : Identitas masih disamarkan. Tunggu cerita berikutnya yaa ^_^

Hai, saya Admin blog ini, Anto !

Jikalau tulisan saya bermanfaat monggo share it ! ^_^

Comments

2 komentar:

  1. Militan sm dot susu...lucuuu loo

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dulunya saya lucu dan cubitable ka, tapi sekarang semuanya lenyap.. hahaha

      Hapus