Jika ada slogan “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa” maka itu
agaknya juga berlaku bagi guru ngaji di pedesaan. Satu potret kecil itu
seperti di Dusun Wates, Desa Balongrejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten
Nganjuk. Beliau-beliaulah yang berperan dalam proses pendidikan
informal, yakni pendidikan agama Islam. Peran tersebut cukup menonjol
sejak 1990-an. Beberapa tahun sebelum itu juga telah ada guru ngaji,
tetapi baru pada 1990-an peran tersebut lebih berpengaruh. Itu
ditunjukkan dengan banyaknya santri yang berminat ikut mengaji pada
tahun-tahun tersebut.
Kaderisasi guru ngaji pun melalui tokoh yang disebut dengan kyai desa
yang telah lebih dulu mempelajari sejumlah kitab dan ilmu agamanya telah
cukup mapan. Kyai desa pun mempelajari sejumlah kitab dan ilmu agama
dari kyai lainnya yang lebih sepuh. Secara tak langsung itu memunculkan
hierarki antara kyai dan santri-santrinya. Sosok kyai tetap sebagai
pemimpin sekaligus juga guru ngaji, sedangkan sejumlah santri sekaligus
wakil dari kyai membantu mengajar ngaji. Paling tidak itu berlangsung
dalam rentang waktu antara tahun 1990 sampai dengan 2002. Oleh karena
itu, guru ngaji di dusun ini umumnya bukan lulusan pesantren.
Atas perannya tersebut guru ngaji mendapatkan pengakuan sosial. Dalam
hal ini adalah pengakuan sosial bahwa seseorang sebagai guru ngaji yang
dengan sendirinya sebagai elite agamawan di pedesaan. Misalnya, peran
khotib dalam sholat jumatan, peran muadzin, imam sholat, pemimpin
yasinan, juga tak dapat lepas dari peran guru- guru ngaji.
Berbeda dengan pengakuan sosial, agaknya tidak demikian dengan
pengakuan ekonomi. Bidang ekonomi pun harus mereka cari sendiri
sebagaimana umumnya. Pada saat yang sama, mereka pun bergulat dengan
kehidupan yang tak lepas dari pahit manis kehidupan. Lagi pula, waktu
itu agaknya tidak lazim apabila di Dusun Wates, ini seorang guru ngaji
secara langsung digaji dengan uang maupun barang. Itu bukan berarti guru
ngaji tersebut sudah mendapatkan kesejahteraan yang layak. Justru
panggilan hati sebagai guru ngaji lebih kuat daripada mencari materi.
Lain halnya dengan pengakuan sosial dan pengakuan ekonomi, juga ada
keterlibatan politik. Jika guru ngaji memiliki murid yang banyak maka
itu dapat menjadi kantung suara untuk dukungan politik, misalnya
pemilihan kepala desa (Kades). Misalnya, pada 2006 saat pemilihan salah
seorang calon kades memberikan bantuan berupa pengeras suara untuk
Langgar. Memang, sebagian santri sendiri sebagian besar belum memiliki
hak politik. Akan tetapi, bantuan tersebut merupakan simbol yang dapat
dijadikan sebagai modal untuk dukungan politik.
Dan lagi, keterlibatan sebagian guru ngaji pada 1999 dalam pemilihan
umum (pemilu). Waktu itu partai politik (parpol) berbasis agama
pengaruhnya cukup kuat, khususnya di Jawa Timur (Jatim), tak terkecuali
wilayah Nganjuk. Hubungan antara organisasi sosial keagamaan dan parpol
pun tak terelakkan. Justru sebelumnya sebagian orang telah terdaftar
sebagai anggota dari organisasi sosial keagamaan maka berkecenderungan
dekat dengan parpol yang berakar dari organisasi sosial keagamaan
tersebut.
Keterlibatan dalam kancah politik ini agaknya tak bersifat tetap. Pada
pemilu 2004 keterlibatan itu tak menonjol lagi. Artinya, peran kyai
sebagai guru ngaji tidak seperti pemilu pada 1999. Dinamika politik pun
memengaruhi posisi kyai sebagai kelompok strategis.
Islamisasi di dusun ini pun tak dapat dilepaskan dari peran setiap guru
ngaji. Proses itu pun agaknya dijalankan secara terbatas oleh guru
ngaji sebagai elite agamawan. Artinya, tidak semua warga masyarakat
turut andil dalam penyelenggaraan pendidikan informal yang diajar oleh
guru ngaji. Umumnya anggota masyarakat cukup mendukung upaya
proses mengaji tersebut tanpa terlibat langsung di dalamnya. Demikian
juga dengan orang tua yang anaknya ikut mengaji. Sebagai dusun yang
kecil, wilayah ini pun tak ada pesantren. Bahkan, dalam lingkup Desa
Balongrejo yang terdiri atas tiga dusun ini juga tidak berdiri pondok
pesantren.
Kemudian, proses pendidikan agama itu umumnya dimulai sejak seorang
anak masuk jenjang Sekolah Dasar (SD). Tujuan utama dari mengaji itu
adalah kemampuan membaca bahasa Arab. Itu dimulai dengan pengenalan
huruf hijaiah. Agaknya dalam metode pengajaran tersebut guru ngaji
tidak ditarget dengan kurikulum yang mengikat. Artinya, metode
pengajarannya mengalir dan tanpa rancangan kurikulum yang ketat. Dapat
pula dikatakan bahwa pola pengajarannya lebih bersifat tradisional.
Dalam pelaksanaannya, waktu mengaji pun dimulai sekitar 16.00, yakni
setelah sholat ashar dan berakhir sekitar jam 17.00. Saat mengaji di
Langgar yang berjumlah sekitar 30 anak itu dibagi ke dalam
kelompok-kelompok. Setiap kelompok kira-kira terdiri atas lima orang
sampai dengan tujuh orang. Dalam satu kelompok itu pula terdiri atas
laki-laki dan perempuan. Meskipun demikian, tetap terpisah deret antara
laki-laki dan perempuan.
Pakaian mengaji pun menyimbolkan santri, yakni laki-laki memakai
songkok, dengan atasan baju berkerah dan bawahan dengan sarung atau
celana panjang. Sementara itu, murid perempuan pun menunjukkan ciri
muslimah seperti memakai kerudung dengan baju lengan panjang dan rok
panjang sampai ke mata kaki. Pada saat itu tidak diterapkan pemakaian
seragam mengaji. Berdasarkan pada itu, ciri lingkungan keagamaan
Nahdlatul Ulama (NU) pun cukup kentara.
Saat pertama kali seseorang mengaji maka yang pertama kali dikenalkan
pada murid adalah kitab cara membaca huruf Arab yang dikenal dengan buku
Iqra. Pembelajaran buku itu pun memakan waktu yang cukup lama. Setelah itu selesai maka dilanjutkan dengan kitab yang bernama Juz Ama. Dalam mengaji itu biasanya hanya diajarkan beberapa ayat. Guru ngaji membacakan beberapa ayat, sementara semua murid atau santri menyimaknya. Setelah selesai, guru ngaji meminta satu per satu setiap murid membacanya kembali secara bergiliran. Jika seorang murid keliru dalam membaca maka guru ngaji langsung membetulkan bacaannya, sedangkan setiap murid tetap menyimak setiap ayat yang dibacakan.
Umumnya seseorang aktif mengaji sejak SD sampai Sekolah Menengah
Pertama (SMP). Bahkan beberapa di antaranya sampai jenjang Sekolah
Menengah Umum (SMU). Tentu rentang waktu selama hampir 12 tahun itu
tergolong lama. Akan tetapi, selama itu setiap santri dapat mempelajari
sejumlah kitab secara bertingkat. Misalnya, setelah menyelesaikan Juz Ama, lalu dilanjutkan dengan Al Quran. Terkadang juga diselingi dengan kitab seperti Sulam Taufik maupun Sulam Susafinah atau kitab-kitab lainnya. Umumnya santri diajarkan kitab-kitab syariah dan ketauhidan.
Sebagaimana telah ditulis sebelumnya bahwa pola pengajarannya cenderung bersifat tradisional. Pengajaran kitab seperti Sulam Taufik
pun memakan waktu yang relatif lama. Kitab yang terjemahan bahasa
Indonesianya setebal 141 halaman tersebut dapat diselesaikan rata-rata
setengah tahun. Lagi pula, kitab-kitab itu pun diajarkan hanya beberapa
ayat saja. Kitab itu juga berbahasa Arab dan di bawah huruf Arab itu
terdapat arti dalam bahasa Jawa. Tentu bahasa tersebut bukan bahasa
asing sebab bahasa Jawa sekaligus juga sebagai bahasa setempat.
Pengajaran kitab, termasuk kitab-kitab yang lain, lebih menekankan pola
kefasihan dalam membaca. Bahasa dalam kitab itu pun berbeda dengan
bahasa yang umumnya dipelajari di sekolah formal seperti SD, SMP, dan
SMU. Memang, jenjang SD dan SMP ada mata pelajaran bahasa Jawa. Akan
tetapi, bahasa itu tidak persis seperti dalam bahasa kitab. Di samping
itu, seperti telah ditulis di atas, kitab seperti Sulam Taufik pun sudah ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Kini, pola pengajaran oleh guru ngaji
di pedesaan tidak banyak mengalami perubahan. Polanya masih bersifat
tradisional dalam bingkai pendidikan agama Islam. Terkait dengan itu,
sifat tradisional tidak berarti selamanya buruk. Pola tersebut dilakukan
kiranya sesuai dengan kondisi pedesaan dengan kultur masyarakat
pertanian berlahan basah.
Puguh Utomo
Alumnus Prodi Sosiologi
FISIP, Universitas Jember
Keseluruhan isi tulisan ini di Copy dari
puguh-sosiologi.blogspot.com, semoga potret tentang Guru Ngaji dari kampung halaman saya dan mas Puguh beserta Seluruh Warga Wates ini menginspirasi saya dan sampean yang membaca tulisan ini.
|
kalo guru ngajinya kayak gini sampean semangat ngaji ? podo.
yo wis lah, ayok berangkat
sumber : nyolong di gugel |
Jadi inget waktu kecil di kampung nih Mas...
BalasHapusBelajar ngaji di mesjid sama akang guru ngaji. Bayar bulanan gak ditentukan, sesuai kemampuan orang tua saja.
Gumu semacam ini yg patut disebut pahlawan tanpa tanda jasa...
iya sama kang, bahkan lebih sering gratis ngajinya mah, kadang suka dikasih snack sama ibu-ibu yang deket mesjid
BalasHapusdulu aku ngaji sampe ke kampung sebelah. Kalo pake sepeda ya sekitar 15 menit lah. Tahun 98-99 seakan "masa kejayaan" karena santrinya banyak banget. Memasuki tahun 2000, semakin habis.
BalasHapusKalo yg ngajari ngaji yg itu, kayanya ane ga bakalan dateng ke tempat ngaji tapi ke rumahnya *eh
wihihi,,iya kang,di daerah saya juga gitu,jaman saya SD banyak banget yang ngaji di Langgar, semakin kebelakang sampai sekarang nggak sebanyak jaman saya
BalasHapuskasihan juga akan guru ngaji di pedesaan, walaupun secara sosial mendapat pengakuan sosial, tapi secara ekonomi tetap harus banting tulang menghidupi keluarganya... baru denger kitab Sulam Taufik maupun Sulam Susafinah
BalasHapusmulia sekali semoga menjadi barokah...
BalasHapuskang Ione : mayoritas guru ngaji di pedesaan bekerja sebagai petani, jadi kegiatan ngajar ngaji tidak seintensif di pesantren. terkadang orang tua santri secara sukarela hasil tanamnya, katanya sih nggak enak, anaknya diajar secara gratis kok nggak ngasih apa-apa ke yang ngajar.
BalasHapusKang Joe : yap,semoga demikian kang aamiin
Berkat beliau-beliau kita ditimpa pelajaran mengaji, akhlak, dan semua berbau agama. penting sekali untuk bekal di usia pertumbuhan. dan tentu, bermanfaat untuk seterusnya.
BalasHapusSemasa kecil saya ngaji di langgar, mas. tapi sebelum itu hanya diajari Mamah saya, pas masih ngaji iqro. baru setelah itu saya bersama teman-teman ngaji di langgar. jaraknya dari rumah sekitar 800 meter. seakarang generasi di bawah sayapun masih ada yang ngaji di langgar itu, mas. malahan makin banyak bermunculan langgar lainnya di desa saya :)
hihi,, hampir sama nasibnya mas, di kampung saya ada 2 masjid yang jaraknya cuma sekitar 60 meter, langgar tempat saya ngaji dulu akhirnya sepi,
BalasHapusBwahaha.... bonus mah kalu itu guru ngajinya hehehe
BalasHapusJaman sekarang kang, orang pada males ngaji yg type begini, yang type dari bawah ke atas. jaman sekarang maunya singkat. Belajar ngaji di GOOGLE! Padahal astikel agama di google ini didominasi artikel "Islam penebar kebencian", alhasil ya begitu deh, bocahe pinter ndalil (pinter terjemahane tok, apal jeneng surate, ayate, tapi mocone raiso), soale belajar Iqro' wae paling jik jilid 3. Hahaha..
BalasHapus